Oleh : Ayat Al Akrash
Menghadapi Kristenisasi
Sita bergabung dengan rohis kampus. Namun
Sita yang sekarang, bukanlah Sita yang dulu, karena kini ia telah berjilbab rapi
dan ia sudah membuang jauh-jauh kenangannya bersama Bram. "Ya Allah, aku ada di
sini karena Engkau. Semoga Engkau luruskan niat-niat kami di jalan-Mu,” doa Sita
di setiap shalat malamnya.
“Aduh, gimana yah, temen gue ada yang mau
keluar dari Islam,” kata Anita, teman sekelas Sita, suatu hari.
“Hah?
yang bener?” seru Sita. Sewaktu di SMU ia juga pernah menemui kristenisasi di
SMU-nya.
“Iya, tapi Sita jangan bilang siapa-siapa ya, rahasia,” ujar
Anita yang celana jinsnya robek-robek di bagian lututnya. Anita berkata itu
dengan mimik serius dan rokok mengepul dari mulutnya. Sita hanya
mengangguk-angguk.
Pakai jilbab, mau murtad? Tubuh Sita seakan limbung
mendengar itu. Haruskah ia kehilangan lagi saudara muslim lagi. Sewaktu di SMU
ia pernah menghadapi hal yang sama, pemurtadan dan saat itu teman SMU-nya murtad
karena diiming-imingi harta. Sita segera membuka-buka kembali buku
kristologinya. Ia membenahi jilbab putihnya. Argumen-argumen apa yang harus ia
sampaikan kepada seseorang yang mau murtad. Ia mencatat semuanya dalam selembar
kertas dan esok paginya, ia sudah siap dengan argumennya.
Namun Sita tak
dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia menceritakan hal itu kepada orang yang
ia percaya, yang notabene pasti tak mengenal Anita. Hal ini terdengar di telinga
Bram, ketua rohis, bahwa ada kristenisasi di kampus.
Saat rapat rohis,
Bram berkata, “Kita mendapat laporan dari atas, bahwa di kampus kita terjadi
kristenisasi.” Sita tertunduk dalam mendengarnya.
“Sebaiknya hal seperti
ini tidak disembunyikan, karena bila sampai terjadi pemurtadan, dapat mencoreng
wajah da’wah kita di kampus ini,” tambah Bram dengan tegas. Bram masih menunggu
ikhwah yang sebenarnya mengetahui hal ini.
Sitapun akhirnya angkat
bicara, “Ya, sebaiknya kita mencari kristolog untuk membantu akhwat ini, karena
kabarnya, dia mendapat ancaman juga dari kekasihnya yang Kristen, akh…” Hm..,
Bram akhirnya tahu siapa orangnya.
“Ya, sebaiknya begitu…,” jawab
Bram.
Para ikhwah mempersiapkan agenda bersama agar mahasiswi tersebut
tidak murtad. Lima akhwat, diantaranya Sita dan Laras, melakukan aksi detektif.
Mereka ingin mengetahui dahulu wajah sang mahasiswi yang berkudung gaul
tersebut. Kejar-kejaran dari belakang. Bersembunyi kala ia menoleh. Sesekali
para akhwat tersenyum bersama. Setelah mahasiswi itu berhasil diidentifikasikan,
akhirnya Sita menjadi duta untuk melakukan dialog dengannya.
Bram terus
memantau perkembangannya dari hari ke hari. Dan dari Anita, Sita mengetahui
bahwa mahasiswi tersebut membatalkan niatnya untuk berpindah agama dari bujukan
pemuda Kristen tersebut, karena agama adalah yang paling utama. Allahu Akbar!
Misi detektif akhwat selesai.
Riska, Namanya
Pagi hari.
Di ruang kelas. Para mahasiswa tengah menunggu datangnya dosen Pengantar
Akuntansi 2. Bram segera masuk ruang kelas. Dan duduk di baris kedua. Ia membuka
buku Akuntansinya dan melihat-lihat lembaran buku merah tersebut. Ia tak
memperhatikan bahwa sedari tadi ada mahasiswi yang mengamati dirinya. Bram
menoleh ke arah kanannya dan melihat mahasiswi manis, bercelana jins, baju
jungkis dan berambut keriting tengah menatapnya. Bram segera melemparkan
senyumnya. Mahasiswi itu membalas senyumnya. “Kamu anak rohis ya?” tanya
mahasiswi itu.
“Iya, saya Bram,” jawab Bram memperkenalkan diri.
“Riska."
“Saya dari dulu pengen ikut rohis nih, tapi bisa ngga’
ya?” ujar Riska.
“O… tentu aja bisa. Kamu maen aja ke sekret rohis,”
jawab Bram. Tiba-tiba dosen masuk dan menghentikan obrolan Bram dan Riska.
Kuliah berlangsung selama 2 jam.
Usai kuliah, Bram mengajak Riska untuk
berkunjung ke sekret rohis. Bram memperkenalkan Riska kepada beberapa akhwat
rohis. Di dalam sekret,
Riska melihat-lihat sekeliling sekret yang
isinya begitu banyak buku-buku Islam.
“Sejak kapan kamu pakai jilbab?”
tanya Riska pada Sita.
“Emm…, kelas 3 SMU, Mbak.”
“Wah, baru
pakai ya?”
“Iya”
“Dulu dapat halangan ngga’ dari orangtua?”
tanya Riska lagi.
“Iya, dulu mintanya susah sekali. Tapi dengan
berusaha, akhirnya orang tua mengizinkan,” jawab Sita.
Riska
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka kemudian membicarakan banyak hal, mulai dari
keluarga sampai seputar wanita. Riska mengakui bahwa wawasan Islam Sita sangat
baik.
Pers Kampus
Zaid, semenjak bergabung dengan rohis,
ia menggunakan kemampuan menulisnya untuk meninggikan kalimatullah. Tulisannya
menghiasi media cetak kampus. Ia mampu menciptakan tulisan-tulisan yang
universal, yang dapat diterima oleh kalangan dosen maupun mahasiswa. Sehingga Al
Haq dapat tersampaikan. Dan ia kerap kali meliput kegiatan-kegiatan rohis dan
memasukkannya ke koran kampus. Dengan ini, perlahan tapi pasti, terciptalah
opini publik yang Islami lingkungan kampus tersebut.
Tidak hanya itu,
kemampuannya itu ia teruskan kepada teman-teman dan junior-juniornya. Misinya
dalam jangka panjang adalah membentuk pers kampus. Bram pun turut men-support
keberadaan pers Islam ini. Hingga terbentuklah satu divisi baru, yaitu Divisi
Jurnalis. Yang bertugas mem-blow up kegiatan-kegiatan rohis dan menggalang opini
publik.
Bram Membangkitkan Semangat Teman-Teman
Sekret ikhwan
dan akhwat terpisah. Letaknya ada di belakang masjid kampus itu. Para aktivis
ini tengah mempersiapkan acara sebagai follow up dari penyambutan mahasiswa
baru. Mereka melakukan rapat. Hanya ada 8 orang, yaitu Zaid, Bram, Andre, Andi,
Riska, Laras, Sita dan Riska. Tak jarang mereka harus pulang malam untuk
melakukan rapat-rapat. Bahkan kuliah bagi mereka adalah nomor dua. Yang utama
adalah da’wah. Namun meskipun demikian, mereka semua tetap berprestasi dalam
kuliahnya, dengan IPK minimal 3. Karena mereka memiliki motto, “Ikhwah sejati
harus ber-IPK minimal 3!”
Bram selalu menjadi motor setiap event-event
keislaman di kampus. Ia senantiasa memotivasi teman-temannya untuk tetap
istiqomah di jalan ini. Dan di dalam sebuah organisisi, bukannya tanpa masalah,
tetapi Bram dan teman-temannya berusaha memiimalisirnya, karena ukhuwah yang
utama.
**
Roy Bergabung dengan Rohis
Di kosnya, Bram
memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Langit terang oleh cahaya
bulan purnama… Lama sekali ia menatap langit…
Terbayang di matanya…
akhlak para mahasiswa di kampusnya yang merosot. Semua itu berkelebat dahsyat di
pikirannya.
Saat itulah, teman satu kosnya yang sedang menonton TV,
menekan channel berita Metro TV, “Korban kembali jatuh di Palestina, bom bunuh
diri dilakukan oleh Wafa Idris, wanita Palestina yang membawa bom. Tiga orang
tentara Israel tewas dan puluhan lainnya luka-luka.” Bram segera berlari menuju
TV mendengar berita itu. ketika melihat TV…, Innalillah… sampai seorang wanita
yang harus maju untuk berperang, kata Bram. Mata
Bram berkaca-kaca
menyaksikan suasana di Palestina. Terlihat, Ambulance menolong korban luka-luka
orang-orag Israel.
“Eh…, kenapa loe..?” tanya Roy, teman satu kosnya.
“Roy …, Kamu tahu…., Palestina itu tempat apa?” tanya Bram pada Roy yang
tengah menghisap sepuntung rokok.
"Palestina kan di Arab sana,” jawabnya
cuek. Bram menggeleng.
“Di Palestina ada Masjid Al Aqsha, itu adalah
kiblat pertama kita dan sekarang diinjak-injak oleh zionis Israel, sudah sejak
tahun 1948, sejak perjanjian Balfour,” ujar Bram dengan serius.
Roy
mengangguk-angguk, terbengong-bengong…”Ooh… begitchu yah..”
Bram
terbangun dari tidurnya. Ia termenung sejenak. Dilihatnya, pukul 02.00 dini
hari. Ia mengambil air wudhu dan shalat malam. Dalam shalat malamnya, ia membaca
surat Al Anfal, lama sekali… Roy yang kamarnya ada di sebelah Bram, tengah sibuk
membuat program web site. Di depan internetnya ia meng-up load postnuke dari
situs. Jari-jarinya bergerak cepat. Sesekali ia membuka situs porno, dan
terkekeh sendiri. Rokok di tangan kirinya dan ada Majalah porno pula di tangan
kanannya. Roy keluar dari kamarnya saat mendengar suara orang menangis
terisak-isak. Roy keluar dari kamarnya dengan kaos oblong dan rambut yang
berdiri dan acak-acakan.
Ia melihat ke dalam kamar yang pintunya terbuka
sedikit. Bram sedang shalat. Kepala Roy tertunduk… Dan ia masuk kembali ke
kamarnya. Di dalam kamarnya, ia memandangi majalah pornonya, dan dilemparnya
majalah itu ke lantai. Ditutupnya semua situs yang ia browse sedari tadi. Ia
mengambil sebuah buku yang sudah berdebu, Al Qur’an. Roy teringat kata-kata
Bram…”Di Palestina ad Masjid Al Aqsha, itu tempat qiblat pertama kita…”
terngiang-ngiang kata-kata itu. Dan terbayang pula senyum manis Bram saat ia
sering mengajaknya untuk shalat ke masjid dan biasanya Roy menolaknya
mentah-mentah, tetapi Bram senantiasa bersabar mengajaknya. Dibersihkannya Al
Qur’an itu dari debu dengan tangannya. Dibukanya pada surat mana saja… Dan yang
terbuka olehnya adalah Surat Ar Rahman “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang
kamu dustakan?” Roy membacanya.. indah sekali ayat ini.
Bram bangun di
pagi hari. Dan bersiap-siap untuk shalat Subuh di masjid. Bram terkejut ketika
Roy mengikutinya dari belakang… Dengan malu-malu,
Roy berkata, ‘‘Kenapa?
Gue mau ke masjid juga, tidak boleh?”
“Eh.. boleh.. tentu saja boleh…,"
Bram cepat-cepat membuang keterkejutannya itu dan mereka melangkah bersama
menuju masjid di dekat kosan mereka.
Usai shalat, Bram membuka buku
kecil berwarna hijau.
“Itu apa? Gue liat loe sering bawa buku itu,”
tanya Roy.
‘‘Ini… Ini namanya Al Ma’tsurat, zikirnya Rasulullah SAW yang
dibaca setiap pagi dan petang,” jelas Bram.
“Gitu yah? Boleh ngga’ gue
baca,” tanya Roy lagi.
“Boleh, kita baca bareng-bareng aja ya. Nih…”
ujar Bram menyerahkan buku itu.
“Loh, terus loe baca pake apa?”
“Insya Allah saya sudah hafal…,” kata Bram.
“Oooo….” Roy
mengangguk-angguk. Mereka membacanya bersama-sama hingga matahari menampakkan
cahayanya.
Di dalam kamarnya, Roy memandangi ruangannya yang berantakan
seperti kapal pecah. Ia terdiam sesaat dan dengan segera membersihkan dan
membereskan kamarnya. Sapu, lap pel, ada di tangannya. Ia mencopot semua
poster-poster band kesayangannya. Buku-buku porno ia kumpulkan.
Seketika, kamarnya bersih dan mengkilat hingga ke kaca-kaca jendela. Ia
keluar dari kamar dan diluar ia menyalakan api… dilemparnya semua buku porno itu
ke dalam api. Roy tersenyum penuh kemenangan.
Roy menyisir rapi
rambutnya yang lurus dan dibelah tengah. Ia melepas anting yang setia di telinga
kananya. Ia merapikan janggutnya dan memakai wangi-wangian. Penampilannya
menjadi lebih rapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar