Oleh : Ayat Al Akrash
Mahasiswa Baru
Ospek untuk menyambut mahasiswa baru angkatan ’97
digelar di kampus tersebut. Pakaian mereka putih dan hitam. Dengan rambut diikat
pita tiga, ratusan mahasiswa baru telah berkumpul di lapangan. Suasana sangat
ramai. Para aktivis dari BEM dan Himpunan berjaket almamater telah bersiap-siap.
Dan para aktivis rohis tengah mempersiapkan tempat shalat untuk shalat Zuhur.
Di bawah panas terik matahari, ratusan Mahasiswa Baru duduk di lapangan
dan mendengarkan instruksi dari para senior, tak jarang kata-kata kotor keluar
dari mulut mereka. Bram jengah mendengarnya. Sudah mahasiswa tapi
intelektualitsnya justru minus, pikirnya.
Semua mahasiswa baru,
dikumpulkan di lapangan kampus.
“Siapa yang tidak bawa atribut lengkap,
cepat maju ke depan dalam hitungan tiga! Kalau tidak, terima sendiri akibatnya!”
seru sang senior berjaket almamater biru. Ia mulai menghitung. Beberapa junior
maju ke depan. Bram berjaket almamater dan memandangi para mahasiswa baru untuk
berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tiba-tiba matanya tertuju pada
seorang mahasiswi baru, berjilbab putih. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu….
Itu.. seperti.. seperti…. Sita! Sita sudah berjilbab…? Bram terdiam dan
pikirannya melayang dengan kejadian setahun lalu.
Saat itu.. ketika ia
masih kelas 3 SMU….
“Saya tidak bisa meneruskan hubungan kita, dek… Kita
akhiri sampai di sini saja…..,” ujar Bram pada seorang adik kelas yang tak lain
adalah kekasihnya.
“Tapi.., kenapa? Bukankah selama ini hubungan kita
baik-baik saja, Bang…” jawab Sita dengan memandang lekat-lekat wajah laki-laki
yang sangat dicintainya itu. Air mata Sita sudah tak terbendung lagi.
“Maafkan saya, dek… tetapi saya bukanlah Bram yang dulu lagi. Saya sudah
memikirkan ini masak-masak, saya ingin berubah…”
Sita dan Bram duduk
berdua di pinggir lapangan basket SMU. Mereka saling terdiam beberapa saat dan
memandangi pintu gerbang SMU mereka yang sudah mulai sepi. Langit berwarna
merah. Rambut lurus Bram tertiup angin yang sepoi-sepoi. Azan maghrib sebentar
lagi berkumandang.
“Apa yang membuat abang berubah? Padahal dua hari
lalu, abang katakan bahwa kita akan selalu bersama, apakah engkau sudah
melupakan kata-kata abang sendiri…,” Suara Sita terdengar parau.
Sesungguhnya jauh di lubuk hati Bram, sangatlah berat melepas Sita.
Tapi.. ., ada yang jauh lebih ia cintai dari wanita yang berambut sebahu itu…
Mengatakan perpisahan inipun sangat sulit baginya. Tapi.. tapi.. ia harus bisa
karena ada yang lebih ia harapkan dari Sita, yaitu… ampunan dan rahmat Allah. Ia
tak dapat memungkiri bahwa hatinya gelisah luar biasa bila berdekatan dengan
Sita, seakan dosa yang terus menggunung tinggi.
Azan Maghrib
berkumandang.
Bram tersigap, ia bangkit dari duduknya dan berkata, “Sudah
azan, saya mau shalat. Shalat yuk.., dek…,” ajak Bram. Sita memandang Bram
dengan tatapan penuh keheranan…dan bertanya-tanya dalam hati.. sejak kapan Bram
shalat? Bukankah ia sendiri yang sering mengatakan tak suka dengan anak-anak
rohis……
“Abang saja yang shalat, Sita nanti aja,” jawab Sita enggan. Bram
dan Sita saling berpandangan, lama sekali. Seakan banyak isi hati yang
terucapkan lewat tatapan mata mereka. Hati Bram bergemuruh. Qomat berkumandang
dari masjid sekolah. Bram menundukkan pandangannya, dan berkata,
“Saya
shalat…” Ia membawa tas ranselnya dan menuju masjid sekolahnya. Sita tertunduk
dan air mata mengalir di pipinya yang kemerah-merahan.
Usai shalat
Maghrib, Bram termenung sesaat… Hatinya sedih luar biasa, ia tahu, pasti Sita
saat ini sedang menangis. Apakah ia harus menemui
Sita lagi dan
menenangkannya, seperti yang selama ini ia lakukan. ”Aku di sini untukmu.” Kata
–kata itulah yang sering ia ucapkan bila Sita bersedih. Tetapi kini.. apakah ia
harus menemuinya dan mengatakannya lagi.. Ah.., tidak.. Aku sudah bertekad, aku
harus berubah! Harus!. Ya Allah.., istiqomahkanlah aku di jalan-Mu. Bram
memanjatkan doa dengan hati bersungguh-sungguh. Tak terasa ia menitikan air
mata. Ikatan yang sudah terjalin sejak mereka SMP, harus pupus di tengah jalan.
Biarlah… biarlah .. kita menangis saat ini Sita, daripada kita menangis di
akhirat nanti. Bram lebih memilih jalan untuk menjauhi apa yang namanya pacaran.
Dan ia berkomitmen untuk selalu berada di jalan para nabi ini….
Bram
menyenandungkan syair nasyid Izzatul Islam
Selamat tinggal wahai dunia
duka dan
selamat datang wahai dunia iman
Burung yang patah sayapnya tak
akan mati karena lukanya
Wahai hatiku yang sedih perangainya
Sungguh
kesedihan itu teah meninggalkan diriku
Kan terbang aku ke dunia
cinta
Karena Aku muslim yang membumbung dengan iman
Gelarku adalah muslim
dan itu cukup bagiku
Dibawah naungan agama aku hidup
Untuk menebus
keislamanku yang nyaris sirna
**
“Assalaamu’alaikum, Bram…
Nanti tempat wudhunya gimana?” tanya teman rohisnya, Andre. Kehadiran Andre
membuyarkan lamunan Bram, “Oh.. eh.. Wa’alaikumsalam, itu sudah disiapkan, jadi
nanti yang mahasiswanya wudhu di dekat gedung K,” jawab Bram mantap. Andre
mengangguk dan meninggalkan Bram usai mendapat jawaban itu. Bram beristighfar
dan segera kembali mempersiapkan atribut shalat, seperti spanduknya dan
lain-lain. Bram bergumam, intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit
aqdamakum.
Bram duduk di masjid usai shalat Zuhur. Ia dan teman-temannya
bersiap-siap menyambut mahasiswa baru. Ia memandangi orang-orang yang shalat.
Dan dari kejauhan ia melihat seorang mahasiswa baru yang tengah duduk. Bram
menghampirinya dan mengucapkan salam. Mahasiswa baru berambut plontos itu
menjawab salam sambil tersenyum ramah.
“Sudah shalat?” tanya Bram
padanya.
“Sudah, Bang… lagi nunggu temen, dia belum selesai,” jawabnya
sedikit malu-malu. Bram lalu berkenalan lebih jauh dengan mahasiswa yang
ternyata benama Andi itu. Bram berkata, “Nanti kapan-kapan kamu main ke sekret
rohis aja.”
“Ke sekret? Ngapain Bang,” tanya Andi heran.
“Ya
maen aja, belum penah ke sekret rohis, kan?” Bram kembali mengajak.
Dan
kali ini Andi mengiyakan dan berjanji akan mengunjungi sekret rohis. Andi
berpamitan setelah temannya usai shalat. Mereka berlari menuju kelas.
Bram Bersama Teman-Teman
Selama kepengurusannya, Bram
melakukan gebrakan-gebrakan da’wah. Dan ia memprioritaskan da’wah di atas
segalanya. Totalitas Perjuangan. Ia persembahkan untuk meninggikan kalimatullah.
Bram, Andre dan Zaid bekerjasama untuk berda’wah kepada para mahasiswa baru, pun
kepada teman-teman mereka sendiri.
Bram mencarikan ustadz agar mereka
dapat mengkaji Islam bersama. Ini akan menjadi menthoring pertama dalam
organisasi ini. Sejak itu, mereka bertiga mengadakan pertemuan mingguan bersama
seorang ustadz.
Saat kuliah, Bram, Andre dan Zaid ada di kelas yang
bersebelahan. Mereka dapat dengan mudah berkoordinasi bila ada teman-teman
Da’wah Fardiyah. Semuanya mereka rencanakan dengan baik. Hingga akhirnya
terekrutlah beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi, untuk semakin mengokohkan
barisan da’wah.
Perpustakaan Masjid
Bram memasuki masjid
dan melihat banyak sekali buku-buku Islam yang tak terawat. “Buku-buku adalah
sumber ilmu,” ujar Bram ketika mengajak Andre untuk mendata buku-buku tersebut.
Jumlah buku Islam itu ada 500 buku. Mereka berdua mencatat nama buku,
pengarangnya, dan penerbitnya. Lalu membuat nomor-nomor buku, kemudian
menempelkannya di setiap buku. Selama sebulan lebih Bram dan Andre melakukan
itu. Bram bersyukur karena ada Andre yang bersedia membantunya.
“Kapan
nih selesai bukunya, kok ngga’ selesai-selesai,” ujar seorang anggota rohis saat
memasuki sekret. Ia hanya membaca beberapa buku, dan kemudian meletakkannya.
“Makanya, bantuin dong, biar cepet selesai,” ujar Andre sedikit kesal.
Karena Andre tahu, Bram yang paling banyak berperan dalam mengurusi
buku-buku itu, dan ia tidak rela bila orang hanya bicara saja tanpa membantu.
Bram hanya terdiam mendengar itu. Berapa banyak orang yang sanggup bicara,
tetapi sedikit yang mengerjakannya. Dan berapa banyak orang yang mau
mengerjakannya, tetapi mau serius dan berkorban untuk melakukannya.
Setelah satu bulan, pendataan buku-buku itu pun selesai. Bram dan Andre
meletakkannya di perpustakaan masjid. Mereka segera membuat kartu perpustakaan,
sehingga para mahasiswa dapat meminjamnya. Dan dapat beredarlah fikrah kita.
Pengorbanan
Bram, Andre dan Zaid terkejut sesaat, tetapi
kemudian memberikan selamat kepada Laras, karena ia baru saja berjilbab. Laras
tersipu-sipu, dan dari lubuk hatinya, Laras yakin bahwa inilah jalan yang lurus,
jalan yang benar, jalan yang Dia ridhoi. Dengan jilbab ini, Laras berjanji untuk
senantiasa di jalan ini…
Sekret rohis itu dikunjungi oleh mahasiswa dan
mahasiswi. Di sekret akhwat, sangatlah ramai oleh canda tawa para mahasiswi,
sampai-sampai suara mereka terdengar di sekret ikhwan. Andre kerap kali mengetuk
jendela akhwat, agar tidak terlalu berisik. Bila sudah demikian, para akhwat dan
mahasiswi yang ada di dalam hanya tersenyum tertahan. Andre hanya geleng-geleng
kepala.
Dan di sekret ikhwan pun tak jauh berbeda. Bahkan mereka bermain
bola di dalam sekret. Andre hanya geleng-geleng kepala (lagi). Tetapi Bram
memang tidak mencegah hal itu dan membiarkannya karena anggota yang baru
bergabung tidak bisa dipaksa langsung berubah total.
Di dalam sekret
itu, diadakan jadwal kultum harian. Setiap orang mendapat giliran. Laras membuat
jadwal di akhwat, dan Andre membuat jadwal di ikhwan. Tilawah dan kajian, juga
menjad agenda mingguan.
Kala maghrib menjelang, ketika tak ada seorangpun
di lingkungan sekret. Bram masuk ke sekretnya. Dan ia membereskan sekret yang
berantakan. Hampir setiap hari ia melakukan itu, karena pengkondisian sekret
bagi Bram sangat penting. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Bagaimana
mungkin hidayah Allah akan turun bila tempat ini berantakan…, gumam Bram. Untuk
saat ini, ia belum bisa meminta teman-temannya untuk melakukan tugas ini, karena
banyak yang menolak. Dan Bram memaklumi hal ini. Ia menyapu lantai, merapihkan
buku-buku, membuang sampah-sampah, dan memasang mading ataupun menempel
tausiah-tausiah di sekret.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar