Minggu, 28 April 2013

Kisah Cinta Dari Masjid Kampus (3)

Oleh : Ayat Al Akrash

Mahasiswa Baru

Ospek untuk menyambut mahasiswa baru angkatan ’97 digelar di kampus tersebut. Pakaian mereka putih dan hitam. Dengan rambut diikat pita tiga, ratusan mahasiswa baru telah berkumpul di lapangan. Suasana sangat ramai. Para aktivis dari BEM dan Himpunan berjaket almamater telah bersiap-siap. Dan para aktivis rohis tengah mempersiapkan tempat shalat untuk shalat Zuhur.

Di bawah panas terik matahari, ratusan Mahasiswa Baru duduk di lapangan dan mendengarkan instruksi dari para senior, tak jarang kata-kata kotor keluar dari mulut mereka. Bram jengah mendengarnya. Sudah mahasiswa tapi intelektualitsnya justru minus, pikirnya.

Semua mahasiswa baru, dikumpulkan di lapangan kampus.

“Siapa yang tidak bawa atribut lengkap, cepat maju ke depan dalam hitungan tiga! Kalau tidak, terima sendiri akibatnya!” seru sang senior berjaket almamater biru. Ia mulai menghitung. Beberapa junior maju ke depan. Bram berjaket almamater dan memandangi para mahasiswa baru untuk berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang mahasiswi baru, berjilbab putih. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu…. Itu.. seperti.. seperti…. Sita! Sita sudah berjilbab…? Bram terdiam dan pikirannya melayang dengan kejadian setahun lalu.

Saat itu.. ketika ia masih kelas 3 SMU….

“Saya tidak bisa meneruskan hubungan kita, dek… Kita akhiri sampai di sini saja…..,” ujar Bram pada seorang adik kelas yang tak lain adalah kekasihnya.

“Tapi.., kenapa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja, Bang…” jawab Sita dengan memandang lekat-lekat wajah laki-laki yang sangat dicintainya itu. Air mata Sita sudah tak terbendung lagi.

“Maafkan saya, dek… tetapi saya bukanlah Bram yang dulu lagi. Saya sudah memikirkan ini masak-masak, saya ingin berubah…”

Sita dan Bram duduk berdua di pinggir lapangan basket SMU. Mereka saling terdiam beberapa saat dan memandangi pintu gerbang SMU mereka yang sudah mulai sepi. Langit berwarna merah. Rambut lurus Bram tertiup angin yang sepoi-sepoi. Azan maghrib sebentar lagi berkumandang.

“Apa yang membuat abang berubah? Padahal dua hari lalu, abang katakan bahwa kita akan selalu bersama, apakah engkau sudah melupakan kata-kata abang sendiri…,” Suara Sita terdengar parau.

Sesungguhnya jauh di lubuk hati Bram, sangatlah berat melepas Sita. Tapi.. ., ada yang jauh lebih ia cintai dari wanita yang berambut sebahu itu… Mengatakan perpisahan inipun sangat sulit baginya. Tapi.. tapi.. ia harus bisa karena ada yang lebih ia harapkan dari Sita, yaitu… ampunan dan rahmat Allah. Ia tak dapat memungkiri bahwa hatinya gelisah luar biasa bila berdekatan dengan Sita, seakan dosa yang terus menggunung tinggi.

Azan Maghrib berkumandang.

Bram tersigap, ia bangkit dari duduknya dan berkata, “Sudah azan, saya mau shalat. Shalat yuk.., dek…,” ajak Bram. Sita memandang Bram dengan tatapan penuh keheranan…dan bertanya-tanya dalam hati.. sejak kapan Bram shalat? Bukankah ia sendiri yang sering mengatakan tak suka dengan anak-anak rohis……

“Abang saja yang shalat, Sita nanti aja,” jawab Sita enggan. Bram dan Sita saling berpandangan, lama sekali. Seakan banyak isi hati yang terucapkan lewat tatapan mata mereka. Hati Bram bergemuruh. Qomat berkumandang dari masjid sekolah. Bram menundukkan pandangannya, dan berkata,

“Saya shalat…” Ia membawa tas ranselnya dan menuju masjid sekolahnya. Sita tertunduk dan air mata mengalir di pipinya yang kemerah-merahan.

Usai shalat Maghrib, Bram termenung sesaat… Hatinya sedih luar biasa, ia tahu, pasti Sita saat ini sedang menangis. Apakah ia harus menemui

Sita lagi dan menenangkannya, seperti yang selama ini ia lakukan. ”Aku di sini untukmu.” Kata –kata itulah yang sering ia ucapkan bila Sita bersedih. Tetapi kini.. apakah ia harus menemuinya dan mengatakannya lagi.. Ah.., tidak.. Aku sudah bertekad, aku harus berubah! Harus!. Ya Allah.., istiqomahkanlah aku di jalan-Mu. Bram memanjatkan doa dengan hati bersungguh-sungguh. Tak terasa ia menitikan air mata. Ikatan yang sudah terjalin sejak mereka SMP, harus pupus di tengah jalan. Biarlah… biarlah .. kita menangis saat ini Sita, daripada kita menangis di akhirat nanti. Bram lebih memilih jalan untuk menjauhi apa yang namanya pacaran. Dan ia berkomitmen untuk selalu berada di jalan para nabi ini….

Bram menyenandungkan syair nasyid Izzatul Islam

Selamat tinggal wahai dunia duka dan
selamat datang wahai dunia iman
Burung yang patah sayapnya tak akan mati karena lukanya
Wahai hatiku yang sedih perangainya
Sungguh kesedihan itu teah meninggalkan diriku
Kan terbang aku ke dunia cinta
Karena Aku muslim yang membumbung dengan iman
Gelarku adalah muslim dan itu cukup bagiku
Dibawah naungan agama aku hidup
Untuk menebus keislamanku yang nyaris sirna


**

“Assalaamu’alaikum, Bram… Nanti tempat wudhunya gimana?” tanya teman rohisnya, Andre. Kehadiran Andre membuyarkan lamunan Bram, “Oh.. eh.. Wa’alaikumsalam, itu sudah disiapkan, jadi nanti yang mahasiswanya wudhu di dekat gedung K,” jawab Bram mantap. Andre mengangguk dan meninggalkan Bram usai mendapat jawaban itu. Bram beristighfar dan segera kembali mempersiapkan atribut shalat, seperti spanduknya dan lain-lain. Bram bergumam, intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum.

Bram duduk di masjid usai shalat Zuhur. Ia dan teman-temannya bersiap-siap menyambut mahasiswa baru. Ia memandangi orang-orang yang shalat. Dan dari kejauhan ia melihat seorang mahasiswa baru yang tengah duduk. Bram menghampirinya dan mengucapkan salam. Mahasiswa baru berambut plontos itu menjawab salam sambil tersenyum ramah.

“Sudah shalat?” tanya Bram padanya.

“Sudah, Bang… lagi nunggu temen, dia belum selesai,” jawabnya sedikit malu-malu. Bram lalu berkenalan lebih jauh dengan mahasiswa yang ternyata benama Andi itu. Bram berkata, “Nanti kapan-kapan kamu main ke sekret rohis aja.”

“Ke sekret? Ngapain Bang,” tanya Andi heran.

“Ya maen aja, belum penah ke sekret rohis, kan?” Bram kembali mengajak.

Dan kali ini Andi mengiyakan dan berjanji akan mengunjungi sekret rohis. Andi berpamitan setelah temannya usai shalat. Mereka berlari menuju kelas.

Bram Bersama Teman-Teman

Selama kepengurusannya, Bram melakukan gebrakan-gebrakan da’wah. Dan ia memprioritaskan da’wah di atas segalanya. Totalitas Perjuangan. Ia persembahkan untuk meninggikan kalimatullah. Bram, Andre dan Zaid bekerjasama untuk berda’wah kepada para mahasiswa baru, pun kepada teman-teman mereka sendiri.

Bram mencarikan ustadz agar mereka dapat mengkaji Islam bersama. Ini akan menjadi menthoring pertama dalam organisasi ini. Sejak itu, mereka bertiga mengadakan pertemuan mingguan bersama seorang ustadz.

Saat kuliah, Bram, Andre dan Zaid ada di kelas yang bersebelahan. Mereka dapat dengan mudah berkoordinasi bila ada teman-teman Da’wah Fardiyah. Semuanya mereka rencanakan dengan baik. Hingga akhirnya terekrutlah beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi, untuk semakin mengokohkan barisan da’wah.

Perpustakaan Masjid

Bram memasuki masjid dan melihat banyak sekali buku-buku Islam yang tak terawat. “Buku-buku adalah sumber ilmu,” ujar Bram ketika mengajak Andre untuk mendata buku-buku tersebut.

Jumlah buku Islam itu ada 500 buku. Mereka berdua mencatat nama buku, pengarangnya, dan penerbitnya. Lalu membuat nomor-nomor buku, kemudian menempelkannya di setiap buku. Selama sebulan lebih Bram dan Andre melakukan itu. Bram bersyukur karena ada Andre yang bersedia membantunya.

“Kapan nih selesai bukunya, kok ngga’ selesai-selesai,” ujar seorang anggota rohis saat memasuki sekret. Ia hanya membaca beberapa buku, dan kemudian meletakkannya.

“Makanya, bantuin dong, biar cepet selesai,” ujar Andre sedikit kesal.

Karena Andre tahu, Bram yang paling banyak berperan dalam mengurusi buku-buku itu, dan ia tidak rela bila orang hanya bicara saja tanpa membantu. Bram hanya terdiam mendengar itu. Berapa banyak orang yang sanggup bicara, tetapi sedikit yang mengerjakannya. Dan berapa banyak orang yang mau mengerjakannya, tetapi mau serius dan berkorban untuk melakukannya.

Setelah satu bulan, pendataan buku-buku itu pun selesai. Bram dan Andre meletakkannya di perpustakaan masjid. Mereka segera membuat kartu perpustakaan, sehingga para mahasiswa dapat meminjamnya. Dan dapat beredarlah fikrah kita.

Pengorbanan

Bram, Andre dan Zaid terkejut sesaat, tetapi kemudian memberikan selamat kepada Laras, karena ia baru saja berjilbab. Laras tersipu-sipu, dan dari lubuk hatinya, Laras yakin bahwa inilah jalan yang lurus, jalan yang benar, jalan yang Dia ridhoi. Dengan jilbab ini, Laras berjanji untuk senantiasa di jalan ini…

Sekret rohis itu dikunjungi oleh mahasiswa dan mahasiswi. Di sekret akhwat, sangatlah ramai oleh canda tawa para mahasiswi, sampai-sampai suara mereka terdengar di sekret ikhwan. Andre kerap kali mengetuk jendela akhwat, agar tidak terlalu berisik. Bila sudah demikian, para akhwat dan mahasiswi yang ada di dalam hanya tersenyum tertahan. Andre hanya geleng-geleng kepala.

Dan di sekret ikhwan pun tak jauh berbeda. Bahkan mereka bermain bola di dalam sekret. Andre hanya geleng-geleng kepala (lagi). Tetapi Bram memang tidak mencegah hal itu dan membiarkannya karena anggota yang baru bergabung tidak bisa dipaksa langsung berubah total.

Di dalam sekret itu, diadakan jadwal kultum harian. Setiap orang mendapat giliran. Laras membuat jadwal di akhwat, dan Andre membuat jadwal di ikhwan. Tilawah dan kajian, juga menjad agenda mingguan.

Kala maghrib menjelang, ketika tak ada seorangpun di lingkungan sekret. Bram masuk ke sekretnya. Dan ia membereskan sekret yang berantakan. Hampir setiap hari ia melakukan itu, karena pengkondisian sekret bagi Bram sangat penting. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Bagaimana mungkin hidayah Allah akan turun bila tempat ini berantakan…, gumam Bram. Untuk saat ini, ia belum bisa meminta teman-temannya untuk melakukan tugas ini, karena banyak yang menolak. Dan Bram memaklumi hal ini. Ia menyapu lantai, merapihkan buku-buku, membuang sampah-sampah, dan memasang mading ataupun menempel tausiah-tausiah di sekret.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar