Minggu, 28 April 2013

Kisah Cinta Dari Masjid Kampus (2)





Oleh : Ayat Al Akrash

(Ruangan itu berubah ke tahun 1996)

Di tempat yang sama. Ruangan itu lenggang.

Terdengar suara, “Nanti kita mengadakan seminarnya di ruang ini saja, karena sound systemnya di sini bagus,” ujar Bram kepada teman-temannya. Beberapa teman yang berada di dekatnya mengangguk tanda setuju.

“Tapi, apa tidak terlalu besar ya, Bram … karena pesertanya dikhawatirkan sedikit,” ujar seorang mahasiswi bernama Laras, yang rambutnya diikat ekor kuda.

“Saya pikir, tidak Laras.. Tema seminar kali ini cukup menarik, insya Allah anak-anak mahasiswa baru banyak yang datang, kok.”

Bram bersama tiga temannya berjalan bersama menuju sekret. Di sepanjang jalan menuju kampus, para mahasiswa laki-laki dan perempuan terlihat bercampur baur. Yang mahasiswinya merokok dan mahasiswanya memakai anting. Bahkan ada yang tak malu-malu berpelukan di koridor kampus.

Bram, mahasiswa semester tiga, fakultas ekonomi di sebuah universitas swasta di Jakarta. Rambutnya lurus dibelah tengah, kulitnya sawo matang, postur tubuhnya sedang, badannya tegap, dan jago bela diri Tae Kwon Do. Ia suka memakai celana bahan dan kemeja lengan panjang. Sehingga tampak sekali keikhwanannya. Suaranya yang lembut namun tegas, membuatnya disegani, sehingga ia didaulat menjadi ketua rohis untuk masa periode itu.

Krisis Regenerasi dan Optimisme Bram

Suatu hari, Bang Didit dan Bram membuat janji untuk bertemu di sekret pada pukul 10.00. Di tengah kesunyian sekret, Didit yang notabene adalah DP (Dewan Pembina) senior rohis angkatan ’94, berkata kepada Bram.

“Dek, kondisi angkatan ‘96 seperti ini. Abang sedikit pesimis.”

Bram tertunduk. Ia baru saja diangkat menjadi ketua dari organisasi rohis yang kualitas anggotanya, sangat jauh dari harapan, karena mereka masih belum memiliki sikap teguh pendirian dan masih sedikit jiwa berkorbannya untuk dakwah. Pun masih gemar ber-ikhktilat. Namun jauh di lubuk hatinya, Bram tetap optimis, bahwa bila Allah menghendaki, manusia pasti bisa berubah, pasti bisa….

“Di akhwat juga tidak ada, dek….” tambah Bang Didit, ingin menekankan bahwa hanya Bram yang bisa menjadi motor penggerak dalam organisasi rohis itu. Bram berfikir keras. Amanah berat di pundaknya. Ya…, memang kondisi di kampus ini sangatlah berbeda dibanding SMU-nya yang ada di daerah.

Dulu di SMU, aktivis bertumpuk dan suasananya sudah sangat islami. Tapi kini, tugas yang akan diembannya sangat berat, yang sampai-sampai para DP pun, sudah di ambang pesimisme. Di lubuk hatinya, Bram memegang teguh janji Allah, intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum (Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu). Surat Muhammad ayat 7 itu selalu menyemangati dirinya untuk tetap optimis berada di jalan ini. Karena hidayah Allah, siapa yang tahu? Teman-teman pasti bisa berubah….

Andre, Aktivis Da’wah Sekolah (ADS)

Saat tengah duduk-duduk di depan sekret rohis, Bram melihat seorang mahasiswa yang tampaknya seperti ikhwan, menuju tempat wudhu. Dan instingnya seakan memperkuat hal itu.

“Assalaamu’alaikum,” kata Bram.

“Wa’alaikumsalam wr wb,” jawab pemuda berjanggut tipis dan tampan itu.

“Em…, antum Ikhwan, ya?” tembak Bram to the point.

“Saya…… JT,” jawabnya mantap.

“O…. Maaf ya, Assalaaamu’alaikum” ujar Bram malu-malu dan segera ngeloyor pergi kembali ke sekret. Saat Bram berbalik beberapa langkah, pemuda itu memanggilnya. “Eh.., akhi… tunggu, maksud saya … JT itu Jamaah Tarbiyah,” ujarnya sambil tersenyum ramah.

“Ooo…. Alhamdulillah….,” senyum Bram pun mengembang.

Mahasiswa itu bernama Andre, mahasiswa tingkat II yang ternyata ADS juga di SMU-nya. Bram sangat senang mendengar itu. Bram mengajak Andre untuk berkomitmen di jalan dakwah. Bram menjelaskan kondisi rohis kampus yang memprihatinkan. Andre mahasiswa yang cerdas, perawakannya sedang, rambutnya ikal dan kulitnya putih dengan pipi yang kemerah-merahan. Andre mengangguk, “Maka marilah kita berjanji setia untuk berjuang di jalan-Nya,” ujar Andre menyambut ajakan Bram.

Bram tersenyum. Dan mereka berjanji setia untuk senantiasa di jalan Allah. Sejak itu mereka senantiasa selalu bersama dan ikatan cinta diantara mereka sangatlah kuat.

Zaid, Sang Jurnalis

Usai shalat Zuhur, sebelum jamaah bubar, Bram segera maju ke depan, mengambil mic dan memberi kultum di masjid kampus. Ia memulainya dengan basmalah dan membacakan firman Allah SWT QS. Saba’: 46-50. Dengan semangat yang membara, kata-kata yang lugas dan tegas, lidah yang lancar, ia berkata, “Kepada para pemuda yang merindukan lahirnya kejayaan, kepada umat yang tengah kebingungan di persimpangan jalan. Kepada para pewaris peradaban yang kaya raya, yang telah menggoreskan catatan membanggakan di lembar sejarah umat manusia. Kepada setiap muslim yang yakin akan masa depan dirinya sebagai pemimpin dunia dan peraih kebahagiaan di kampung akhirat… "

Para jamaah yang semula hendak bubar, demi mendengar seruan Bram yang menggetarkan jiwa itu, spontan segera menoleh ke arah Bram dan mereka kembali duduk di tempatnya dikarenakan gaya bicara Bram yang sangat menarik.

Bram melanjutkan, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih lemah dari generasi sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah membuktikan kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan jangan merasa lemah. Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga-rumah tangga kaum muslimin menuju terbangunnya rumah tangga yang islami. Setelah itu, kita akan menempa bangsa kita menjadi bangsa yang muslim, yang tertegak di dalamnya kehidupan masyarakat yang islami. Kita akan meniti langkah-langkah yang sudah pasti, dari awal hingga akhir perjalanan. Kita akan mencapai sasaran yang digariskan Allah bagi kita, bukan yang kita paksakan untuk diri kita. Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya,” seru Bram.

“Kita pun akan mengetahui bahwa sesungguhnya memisahkan agama dari politik itu bukan dari ajaran Islam. Pemisahan itu tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang jujur dalam beragama dan paham akan ruh ajarannya. Sesungguhnya agama ini adalah agama, ibadah, dan tanah air, …..”

Andre memperhatikan para jamaah. Dan ada beberapa jamaah yang terlihat sangat antusias dengan seruan Bram. Andre mendekati seorang pemuda. Setelah mengucapkan salam, mereka berkenalan.

“Saya Andre.”

Pemuda itu membalas senyum Andre dan berkata, “Saya Zaid.”

“Zaid, nama yang bagus sekali seperti sahabat yang menjadi sekretaris nabi."

“Iya, engkau benar,” jawab Zaid.

“Bagaimana menurutmu tentang orang di depan itu?” tanya Andre.

“Em.., bagus sekali dan saya tertarik untuk menuliskannya di koran saya,” jawab Zaid.

Andre mengerutkan keningnya. “Anda jurnalis?”

“Ya, saya jurnalis di koran kampus.”

Sesaat Andre baru sadar, bahwa Zaid mengenggam pena dan membawa sebuah note book kecil di tangannya. Setelah mengobrol panjang lebar, Bram berkata, “Emm…Kalau begitu bagaimana kalau engkau mengaji bersama-samaku.”

“Mengaji?”

"Ya, kita akan mengaji dan mengkaji lebih dalam lagi apa yang dikatakan mahasiswa itu.”

“Ya… Tentu.., “ jawab Zaid setelah berpikir beberapa saat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar