Oleh : Ayat Al Akrash
Tahun 2040
Seorang kakek-kakek duduk di sebuah sekret rohis kampus. Sekret itu berukuran
3x3 meter. Kecil, tapi sangat nyaman. Lantainya dialasi karpet coklat. Ada
lemari file, kaca besar di sampingnya. Buku-buku Islam tersusun rapi di hadapan
kakek itu duduk. Jendela terbuka lebar. Terdengar kicauan dari burung yang ada
di dalam sangkar. Kerut-kerut di wajahnya sangat kentara. Rambutnya sudah
memutih. Ia termenung. Kepalanya tertunduk. Ia tengah memandangi sebuah album
foto. Tak jauh darinya, ada setumpuk album foto lainnya. Lama sekali ia
memandangi album foto itu.
Seorang mahasiswa berbaju koko, masuk ke
sekret dan sebelum duduk di sebelahnya, ia mengucap salam, sambil mengulurkan
tangannya, mencium tangan kakek itu dan mencium pipi kiri dan
kanan.
“Wa’alaikumsalam Wr Wb,” jawab sang kakek.
Untuk beberapa
saat mereka saling terdiam. Kakek itu masih asyik menatapi foto-foto tersebut.
Membuka-buka halamannya.
“Saya suka melihat foto-foto ini, dan saya tak
kan pernah bosan melihatnya,” ujar kakek itu memecah kesunyian.
Matanya
terlihat sayu dan memendam kerinduan yang mendalam. Mahasiswa itu terlihat tak
mengerti, tapi kemudian ia berujar, “Ya, Pak saya pernah melihat foto-foto itu,
sepertinya orang-orang di dalam foto itu sangat kompak ya.”
Mahasiswa
itu mendekat dan ikut melihat foto-foto itu. “Lihatlah ikhwan-ikhwan ini, mereka
semua sangat kompak,” kata kakek itu sambil menunjuk sebuah foto dan tiba-tiba
wajah kakek itu terlihat sumringah.
“Tahukah kamu,… untuk mewujudkan
ikhwan-ikhwan yang kompak seperti ini, ada pengorbanan dari para senior-senior
kami dahulu dan juga dari teman-teman kami sendiri,” kakek itu menjelaskan.
Mahasiswa itu kemudian bertanya, “Bapak sendiri yang mana?” “Saya…, yang
ini… Bersama teman-teman saya dulu…,” ujar kakek itu sambil menunjuk ke sebuah
foto ikhwan yang memakai ikat kepala putih dan slayer biru saat mukhayyam di
gunung.
Tiba-tiba pintu sekret terbuka dan ada enam orang ikhwan berbaju
koko, memasuki sekret sambil tertawa riang dan bercerita panjang lebar. Begitu
melihat kakek itu, mereka segera mengucap salam, dan bersalaman.
“Acaranya baru dimulai 10 menit lagi, Pak,” ujar seorang ikhwan berbaju
biru.
“Eh, teman-teman, ini tadi beliau sedang cerita… Ternyata ada foto
beliau ketika masih seusia kita, lho” ujar mahasiswa tadi.
“Wah, yang
bener yah…,” seru seorang dari mereka.
Mereka berebutan untuk melihat
album foto dan mengelilingi kakek itu. Terlihatlah foto-foto para aktivis kampus
angkatan 1996. Ikhwan dan akhwatnya terlihat sangat kompak. Puluhan akhwat
berjilbab rapi berdiri di belakang para ikhwan yang duduk berjongkok sambil
memegang spanduk acara. Dan banyak lagi foto-foto yang serupa. Meski sudah 46
tahun yang lalu, namun foto-foto itu masih terjaga baik. Ya.., karena kakek itu
menyimpannya…
Seorang mahasiswa memasuki sekret dan berkata, “Pak,
acaranya sudah dimulai.” Mereka semua lalu keluar bersama-sama menuju tempat
acara. Kakek itu berjalan menyusuri sepanjang koridor kampus menuju ruangan
seminar. Dengan berjalan lambat-lambat, didampingi para mahasiswa. Sepanjang
jalan ia disapa oleh setiap mahasiswa yang berpapasan dengannya. Meski kampus
swasta, tetapi terlihat lebih mirip pesantren karena hampir semua mahasiswinya
berjilbab dan mahasiswanya berbaju koko. Kakek itu hadir sebagai pembicara di
sebuah seminar bertema, “Menyikapi Kemenangan Da’wah” yang disambut takbir
ribuan peserta ikhwan dan akhwat di kampus itu. Kampus yang telah futuh.
Acara dibuka dengan tilawah dan diawali dengan tampilnya tim nasyid.
Ketika tiba saatnya pada materi inti, sang moderator membacakan biodata
pembicara. Setelah dipersilahkan untuk menyampaikan materi, kakek itu membukanya
dengan basmallah. Ia sempat terdiam sesaat. Dipandanginya aula besar yang berisi
ribuan mahasiswa dan mahasiswi. Matanya berkaca-kaca. Ia terkenang akan kenangan
masa lalu. Pandangannya nanar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar